Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokkan ke Nibbanadhatu , tujuan akhir umat Buddha. Istilah Pali “ nibbana “ berasal dari kata ni dan vana. Ni merupakan partikel negatif, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan “. Secara harfiah, nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sang Buddha bersabda : “ Seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa ? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian dan kebodohan ; oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah “.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalam agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata – kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta “. Karenanya, Nibbana bersifat kekal ( dhuva ), damai ( santi ), dan bahagia ( sukha ).
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan “ atau “ dimusnahkan “.
Menurut kitab – kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa – upadisesa – nibbana dan Anupadisesa – nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu pencapaian ( Dhamma ) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan suatu keadaan di atas keduniawian ( lokuttara ) yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalam kehidupan di alam lain. Di sinilah terletak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep non – Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai setelah kematian atau bersatu dengan Tuhan atau Zat Agung pada kehidupan setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu masih hidup, itu disebut Sa – upadisesa Nibbanadhatu. Bila seorang Arahat wafat, setelah kehancuran tubuhnya, tanpa adanya sisa kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak ? Sang Buddha menjawab : “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( khanda ) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatakan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatakan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar “.
Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal lahir telah dihancurkan ; juga orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tak ada sesuatu yang dimusnahkan.
Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika, menyatakan :
“ Misalnya, apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab “ tidak “. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab “ tidak “. Bila kita bertanya apakah electron bergerak, kita juga harus menjawab “ tidak “.
Sang Buddha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi – kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.
JALAN KE NIBBANA
Bagaimana caranya untuk mencapai Nibbana ? Dengan melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , yaitu : Pengertian benar ( samma – ditthi ), Pikiran benar ( samma – sankappa ), Ucapan benar ( samma – vaca ), Perbuatan benar ( samma – kammanta ), Penghidupan benar ( samma – ajiva ), Usaha benar ( samma – vayama ), Perhatian benar ( samma – sati ), Konsentrasi benar ( samma – samadhi ).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha, mencakup pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta : “ Empat Kebenaran Mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depa beserta kesadarannya “. Dalam melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , Pengertian Benar berada pada permulaan serta pada akhirnya. Tingkat minimal Pengertian Benar amat diperlukan pada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna ), yang langsung membawa kepada tingkat – tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Karena itu, faktor kedua dari jalan utama ini ( Samma – sankkappa ), mempunyai dua tujuan : melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
• Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
b. Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
c. Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar , faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar , yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup, pencurian dan perbuatan – perbuatan kelamin yang salah.
Dengan membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata, manusia, binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bhikkhu, penghidupan salah meliputi perbuatan – perbuatan munafik dan cara – cara yang tidak dibenarkan untuk memperoleh kebutuhan – kebutuhan hidup seorang Bhikkhu.
Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memuncak dalam Jhana.
Dari kedelapan faktor Jalan Utama ini, dua yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan ( panna ), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral ( sila ), dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi ( samadhi ). Tetapi menurut urutan perkembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut : Sila, Samadhi dan panna .
Moral ( sila ) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh atau melukai makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas – azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seseorang yang melangkahkan kakinya menuju ke Nibbana. Melanggar hal – hal tersebut di atas berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan hal – hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan – ucapan dan perbuatan – perbuatannya seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap dengan mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indria – indrianya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan – kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai bhikkhu. Kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa :
“ Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan ; Tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah bebas seperti udara terbuka “.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa setiap orang harus menjadi bhikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi bhikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksanaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin ( Samadhi ), tingkat kedua pada jalan ini.
Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam obyek meditasi sesuai dengan watak masing – masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Samadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagiaan batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur : cinta kasih ( Metta ), belas kasihan ( Karuna ), kegembiraan bersimpati ( Mudita ), dan keseimbangan batin ( Upekkha ) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati – hati obyek – obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar – benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tidak dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah : Keinginan indria, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan, kekhawatiran dan keragu – raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang tak dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana , menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa ( abhinna ), yaitu : mata – dewa ( Dibbacakkhu ), telinga – dewa ( Dibbasota ), ingatan akan kelahiran – kelahiran lampau ( Pubbenivasanussati – nana ), membaca – pikiran ( Paracitta vijanana ), dan berbagai macam kemampuan – kemampuan batin lainnya ( Iddhividha ). Namun harus diingat bahwa kekuatan – kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecenderungan – kecenderungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan Samadhi nafsu – nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kekotoran – kekotoran batin itu dapat muncul pada saat – saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangan – rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia melihat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemanapun ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain Tiga Corak Umum kehidupan, yaitu : Anicca ( ketidak – kekalan ), Dukkha ( penderitaan ), dan Anatta ( tanpa pribadi kekal ), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersyarat itu tidak kekal adanya. Baik di surga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan Pandangan Terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat – saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancurkan tiga belenggu : pandangan salah tentang aku ( Sakkaya ditthi ), keragu – raguan ( Vicikiccha ), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan ( Silabbata – paramasa ).
Pada tingkat ini ia disebut seorang Sotapanna ( Pemenang – arus ), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan sekilas terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan pesat dan mengembangkan Pandangan Terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami ( hanya kembali sekali ) dengan melemahkan dua belenggu lagi, yaitu : keinginan indria ( kamaraga ) dan itikad jahat ( patigha ). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat .
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, Anagami ( tak pernah kembali ), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang telah disebutkan diatas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa, karena ia tidak memiliki kesenangan – kesenangan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “ Alam Murni “ ( Suddhavasa ) , suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan dorongan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam bentuk ( rupa – raga ) dan alam – alam tak berbentuk ( arupa – raga ), kesombongan ( mana ), kegelisahan ( unddhacca ), kebodohan ( avijja ), dan menjadi seorang suci yang sempurna – Arahat.
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, beban berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak – gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata – kata.
======================
Buddhism in a Nutshell Part 10 (Nibbana AND The Path to Nibbana)
by Ven Narada Thera
Nibbana
This process of birth and death continues ad infinitum until this flux is transmuted, so to say, to nibbanadhatu, the ultimate goal of Buddhists.
The Pali word Nibbana is formed of Ni and Vana. Ni is a negative particle and vana means lusting or craving. "It is called Nibbana, in that it is a departure from the craving which is called vana, lusting." Literally, Nibbana means non-attachment.
It may also be defined as the extinction of lust, hatred and ignorance, "The whole world is in flames," says the Buddha. "By what fire is it kindled? By the fire of lust, hatred and ignorance, by the fire of birth, old age, death, pain, lamentation, sorrow, grief and despair it is kindled."
It should not be understood that Nibbana is a state of nothingness or annihilation owing to the fact that we cannot perceive it with our worldly knowledge. One cannot say that there exists no light just because the blind man does not see it. In that well known story, too, the fish arguing with his friend, the turtle, triumphantly concluded that there exists no land.
Nibbana of the Buddhists is neither a mere nothingness nor a state of annihilation, but what it is no words can adequately express. Nibbana is a Dhamma which is "unborn, unoriginated, uncreated and unformed." Hence, it is eternal (dhuva), desirable (subha), and happy (sukha).
In Nibbana nothing is "eternalized," nor is anything "annihilated," besides suffering.
According to the Pali text references are made to Nibbana as sopadisesa and anupadisesa. These, in fact, are not two kinds of Nibbana, but the one single Nibbana, receiving its name according to the way it is experienced before and after death.
Nibbana is not situated in any place nor is it a sort of heaven where a transcendental ego resides. It is a state which is dependent upon this body itself. It is an attainment (dhamma) which is within the reach of all. Nibbana is a supramundane state attainable even in this present life. Buddhism does not state that this ultimate goal could be reached only in a life beyond. Here lies the chief difference between the Buddhist conception of Nibbana and the non-Buddhist conception of an eternal heaven attainable only after death or a union with a God or Divine Essence in an after-life. When Nibbana is realized in this life with the body remaining, it is called sopadisesa nibbana-dhatu. When an arahat attains parinibbana, after the dissolution of his body, without any remainder of physical existence it is called anupadisesa nibbana-dhatu.
In the words of Sir Edwin Arnold:
"If any teach Nirvana is to cease
Say unto such they lie.
If any teach Nirvana is to live
Say unto such they err."
From a metaphysical standpoint Nibbana is deliverance from suffering. From a psychological standpoint Nibbana is the eradication of egoism. From an ethical standpoint Nibbana is the destruction of lust, hatred and ignorance.
Does the arahat exist or not after death?
The Buddha replies: "The arahat who has been released from the five aggregates is deep, immeasurable like the mighty ocean. To say that he is reborn would not fit the case. To say that he is neither reborn nor not reborn would not fit the case."
One cannot say that an arahat is reborn as all passions that condition rebirth are eradicated; nor can one say that the arahat is annihilated for there is nothing to annihilate.
Robert Oppenheimer, a scientist, writes: "If we ask, for instance, whether the position of the electron remains the same, we must say 'no'; if we ask whether the electron's position changes with time, we must say 'no'; if we ask whether the electron is at rest, we must say 'no'; if we ask whether it is in motion, we must say 'no'.
"The Buddha has given such answers when interrogated as to the conditions of man's self after death;[14] but they are not familiar answers from the tradition of the 17th and 18th century science."
The Path to Nibbana
How is Nibbana to be attained?
It is by following the Noble Eightfold Path which consists of Right Understanding (samma-ditthi), Right Thoughts (samma-sankappa), Right Speech (samma-vaca), Right Actions (samma-kammanta), Right Livelihood (samma-ajiva), Right Effort (samma-vayama), Right Mindfulness (samma-sati), and Right Concentration (samma-samadhi).
1. Right Understanding, which is the keynote of Buddhism, is explained as the knowledge of the four Noble Truths. To understand rightly means to understand things as they really are and not as they appear to be. This refers primarily to a correct understanding of oneself, because, as the Rohitassa Sutta states, "Dependent on this one-fathom long body with its consciousness" are all the four Truths. In the practice of the Noble Eightfold Path, Right Understanding stands at the beginning as well as at its end. A minimum degree of Right Understanding is necessary at the very beginning because it gives the right motivations to the other seven factors of the Path and gives to them correct direction. At the culmination of the practice, Right Understanding has matured into perfect Insight Wisdom (vipassana-pañña), leading directly to the stages of sainthood.
2. Clear vision of right understanding leads to clear thinking. The second factor of the Noble Eightfold Path is therefore, Right Thoughts (samma-sankappa), which serves the double purpose of eliminating evil thoughts and developing pure thoughts. Right Thoughts, in this particular connection, are threefold. They consist of:
i. Nekkhamma -- Renunciation of worldly pleasures or the virtue of selflessness, which is opposed to attachment, selfishness, and possessiveness;
ii. Avyapada -- Loving-kindness, goodwill, or benevolence, which is opposed to hatred, ill-will, or aversion; and
iii. Avihimsa -- Harmlessness or compassion, which is opposed to cruelty and callousness.
3. Right Thoughts lead to Right Speech, the third factor. This includes abstinence from falsehood, slandering, harsh words, and frivolous talk.
4. Right Speech must be followed by Right Action which comprises abstinence from killing, stealing and sexual misconduct.
5. Purifying his thoughts, words and deeds at the outset, the spiritual pilgrim tries to purify his livelihood by refraining from the five kinds of trade which are forbidden to a lay-disciple. They are trading in arms, human beings, animals for slaughter, intoxicating drinks and drugs, and poisons. For monks, wrong livelihood consists of hypocritical conduct and wrong means of obtaining the requisites of monk-life.
6. Right Effort is fourfold, namely:
i. the endeavor to discard evil that has already arisen;
ii. the endeavor to prevent the arising of unarisen evil;
iii. the endeavor to develop unarisen good;
iv. the endeavor to promote the good which has already arisen.
7. Right Mindfulness is constant mindfulness with regard to body, feelings, thoughts, and mind-objects.
8. Right Effort and Right Mindfulness lead to Right Concentration. It is the one-pointedness of mind, culminating in the jhanas or meditative absorptions.
Of these eight factors of the Noble Eightfold Path the first two are grouped under the heading of Wisdom (pañña), the following three under Morality (sila), and the last three under Concentration (samadhi). But according to the order of development the sequence is as follows:
I. Morality (sila)
Right Speech
Right Action
Right Livelihood
II. Concentration (samadhi)
Right Effort
Right Mindfulness
Right Concentration
III. Wisdom (pañña)
Right Understanding
Right Thoughts
Morality (sila) is the first stage on this path to Nibbana.
Without killing or causing injury to any living creature, man should be kind and compassionate towards all, even to the tiniest creature that crawls at his feet. Refraining from stealing, he should be upright and honest in all his dealings. Abstaining from sexual misconduct which debases the exalted nature of man, he should be pure. Shunning false speech, he should be truthful. Avoiding pernicious drinks that promote heedlessness, he should be sober and diligent.
These elementary principles of regulated behavior are essential to one who treads the path to Nibbana. Violation of them means the introduction of obstacles on the path which will obstruct his moral progress. Observance of them means steady and smooth progress along the path. The spiritual pilgrim, disciplining thus his words and deeds, may advance a step further and try to control his senses.
While he progresses slowly and steadily with regulated word and deed and restrained senses, the kammic force of this striving aspirant may compel him to renounce worldly pleasures and adopt the ascetic life. To him then comes the idea that,
"A den of strife is household life,
And filled with toil and need;
But free and high as the open sky
Is the life the homeless lead."
It should not be understood that everyone is expected to lead the life of a bhikkhu or a celibate life to achieve one's goal. One's spiritual progress is expedited by being a bhikkhu although as a lay follower one can become an arahat. After attaining the third state of sainthood, one leads a life of celibacy.
Securing a firm footing on the ground of morality, the progressing pilgrim then embarks upon the higher practice of samadhi, the control and culture of the mind -- the second stage on this Path.
Samadhi -- is the "one-pointedness of the mind." It is the concentration of the mind on one object to the entire exclusion of all irrelevant matter.
There are different subjects for meditation according to the temperaments of the individuals. Concentration on respiration is the easiest to gain the one-pointedness of the mind. Meditation on loving-kindness is very beneficial as it is conducive to mental peace and happiness.
Cultivation of the four sublime states -- loving-kindness (metta), compassion (karuna), sympathetic joy (mudita), and equanimity (upekkha) -- is highly commendable.
After giving careful consideration to the subject for contemplation, he should choose the one most suited to his temperament. This being satisfactorily settled, he makes a persistent effort to focus his mind until he becomes so wholly absorbed and interested in it, that all other thoughts get ipso facto excluded from the mind. The five hindrances to progress -- namely, sense-desire, hatred, sloth and torpor, restlessness and brooding, and doubts are then temporarily inhibited. Eventually he gains ecstatic concentration and, to his indescribable joy, becomes enwrapt in jhana, enjoying the calmness and serenity of a one-pointed mind.
When one gains this perfect one-pointedness of the mind it is possible for one to develop the five supernormal powers (abhiñña): divine eye (dibbacakkhu), divine ear (dibbasota), reminiscence of past births (pubbenivasanussati-ñana). Thought reading (paracitta vijañana) and different psychic powers (iddhividha). It must not be understood that those supernormal powers are essential for sainthood.
Though the mind is now purified there still lies dormant in him the tendency to give vent to his passions, for by concentration, passions are lulled to sleep temporarily. They may rise to the surface at unexpected moments.
Both Discipline and Concentration are helpful to clear the Path of its obstacles but it is Insight (vipassana pañña) alone which enables one to see things as they truly are, and consequently reach the ultimate goal by completely annihilating the passions inhibited by samadhi. This is the third and the final stage on the Path of Nibbana.
With his one-pointed mind which now resembles a polished mirror he looks at the world to get a correct view of life. Wherever he turns his eyes he sees nought but the Three Characteristics -- anicca (transiency), dukkha (sorrow) and anatta (soul-lessness) standing out in bold relief. He comprehends that life is constantly changing and all conditioned things are transient. Neither in heaven nor on earth does he find any genuine happiness, for every form of pleasure is a prelude to pain. What is transient is therefore painful, and where change and sorrow prevail there cannot be a permanent immortal soul.
Whereupon, of these three characteristics, he chooses one that appeals to him most and intently keeps on developing Insight in that particular direction until that glorious day comes to him when he would realize Nibbana for the first time in his life, having destroyed the three fetters -- self-illusion (sakkaya-ditthi), doubts (vicikiccha), indulgence in (wrongful) rites and ceremonies (silabbataparamasa).
At this stage he is called a sotapanna (stream-winner) -- one who has entered the stream that leads to Nibbana. As he has not eradicated all fetters he is reborn seven times at the most.
Summoning up fresh courage, as a result of this glimpse of Nibbana, the pilgrim makes rapid progress and cultivating deeper insight becomes a sakadagami (once returner) by weakening two more fetters -- namely sense-desire (kamaraga) and ill-will (patigha). He is called a sakadagami because he is reborn on earth only once in case he does not attain arahatship.
It is in the third state of sainthood -- anagami (never-returner) that he completely discards the aforesaid two fetters. Thereafter, he neither returns to this world nor does he seek birth in the celestial realms, since he has no more desire for sensual pleasures. After death he is reborn in the "Pure Abodes" (suddhavasa) a congenial Brahma plane, till he attains arahatship.
Now the saintly pilgrim, encouraged by the unprecedented success of his endeavors, makes his final advance and, destroying the remaining fetters -- namely, lust after life in Realms of Forms (ruparaga) and Formless Realms (aruparaga), conceit (mana), restlessness (uddhacca), and ignorance (avijja) -- becomes a perfect saint: an arahat, a Worthy One.
Instantly he realizes that what was to be accomplished has been done, that a heavy burden of sorrow has been relinquished, that all forms of attachment have been totally annihilated, and that the Path to Nibbana has been trodden. The Worthy One now stands on heights more than celestial, far removed from the rebellious passions and defilements of the world, realizing the unutterable bliss of Nibbana and like many an arahat of old, uttering that paean of joy:
"Goodwill and wisdom, mind by method trained,
The highest conduct on good morals based,
This maketh mortals pure, not rank or wealth."
As T.H. Huxley states -- "Buddhism is a system which knows no God in the Western sense, which denies a soul to man, which counts the belief in immortality a blunder, which refuses any efficacy to prayer and sacrifice, which bids men to look to nothing but their own efforts for salvation, which in its original purity knew nothing of vows of obedience and never sought the aid of the secular arm: yet spread over a considerable moiety of the world with marvelous rapidity — and is still the dominant creed of a large fraction of mankind."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar